Dapatkah anda membayangkan, apa yang terjadi jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pecah? Wilayah Indonesia hampir seluas benua Eropa. Eropa terdiri atas berbagai suku bangsa, berbagai budaya, berbagai bahasa. Indonesia juga terdiri atas berbagai suku bangsa, berbagai budaya, dan berbagai bahasa. Eropa terdiri atas satu benua, daratan yang luas, sedangkan wilayah Indonesia terpecah belah oleh laut dan selat, dan terdiri atas 17.000 pulau. Walaupun wilayah Indonesia terpecah-pecah oleh laut dan selat, tetapi menjadi satu NKRI, sedangkan Eropa yang terdiri atas satu benua, terpecah-belah menjadi puluhan negara. Perpecahan Eropa ditandai dengan sejarah yang berdarah-darah. Ada Perang Dunia 1 dan Perang Dunia ke 2. Sebelum perang dunia, berkali-kali ada perang antar negara. Sekarang Eropa sudah damai, walaupun terpecah-pecah dalam banyak negara. Bagaimana jika NKRI pecah? Ada negara Jawa, ada negara Sunda, ada Bali, Sumatera, Kalimantan dan lain-lain. Siapa yang bisa menjamin, negara-negara baru itu akan damai dan tidak berperang? Sejarah mencatat, Jawa saja pernah terpecah menjadi berbagai kerajaan yang saling perang dan saling bunuh. Jadi NKRI tidak boleh pecah demi kemanusian, demi keselamatan warganya. Jika NKRI pecah, mungkin nasib Indonesia bisa seperti Yugoslavia yang terpecah dengan ditandai saling bunuh antar suku yang kemudian menjadi beberapa negara. Mungkin juga seperti Suriah dan Afghanistan. Suriah dan Afghanistan masih jadi satu negara, tapi potensi saling bunuh bisa terjadi setiap saat. Polarisasi politik Kekhawatiran NKRI bisa pecah memang sudah ada tanda-tandanya. Oleh karena itu perlu diingatkan, agar warga negata Indonesia memelihara NKRI. Ancaman yang paling nyata adalah impian mendirikan khilafah. Ada beberapa hal yang menyesakkan, ketika memantau road map menuju khilafah yang dimulai dari Indonesia. Jika khilafah sudah bisa berdiri, ibukotanya tidak di Indonesia. Jika Singapura tidak mau bergabung dalam khilafah, maka Singapura harus diserbu dan ditundukkan. Pada masa kepemimpinan Presiden SBY, dilaksanakan Muktamar Khilafah pada tahun 2013, di Gelora Bung Karno yang disiarkan secara penuh oleh TVRI Nasional. https://www.youtube.com/watch?v=q4lKkKph65A Harus dicatat, walaupun organisasi-organisasi yang berniat mendirikan khilafah dari Indonesia sudah dilarang, para anggotanya adalah orang-orang yang militan dan terus bergerak. Selanjutnya silahkan simak https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/menyimak-militansi-pendukung-khilafah-di-indonesia. Di samping itu terjadi polarisasi politik yang makin menjauhkan warga Indonesia dari semangat kerukunan. Gerakan anti Jokowi melebar ke DPR. Ada agitasi untuk membenci orang-orang partai di DPR, karena mereka sudah menjadi oligarki. Ada kampanye yang menyatakan bahwa DPR bukan lagi cermin dari demokrasi tetapi sudah menjadi partai-krasi, yang berkuasa adalah orang-orang partai. Oleh karena aksi anti Jokowi dan DPR tidak mendapat tanggapan, ada yang berdoa agar Jokowi dan DPR dikutuk oleh Gusti Allah. Polarisasi ini dengan mudah dapat diamati di media sosial dan media massa. Ada yang anti Jokowi dan pro Jokowi. Ada kelompok anti Jokowi yang menganggap pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan thogut, pemerintahan yang zalim yang harus dirobohkan dengan cara apapun. Sedangkan yang pro Jokowi adalah hampir semua unsur pemerintah, anggota DPR dan anggota partai pendukung pemerintahan koalisi. Polarisasi ini sudah tidak berada di bawah tanah, semua terbuka. Orang bisa mencatat nama-nama mereka dan media-media yang anti Jokowi. Orang juga bisa mencatat nama-nama dan media-media yang pro Jokowi. Terkadang kelompok yang pro Jokowi dituduh oleh kelompok anti Jokowi sebagai buzzerRp. Meminimalisir perpecahan Melihat polarisasi yang makin menjauh dengan rasa permusuhan yang makin tajam, tampaknya sangat sulit untuk mendamaikannya. Sungguh tidak mungkin untuk meminta orang yang meyakini bahwa Pemerintah Jokowi adalah pemerintahan thogut dan zalim untuk berdamai dengan masyarakat yang masih menerima pemerintahan Jokowi sebagai pemerintahan yang biasa-biasa saja. Pemerintahan yang ada baiknya, dan kebaikan itu perlu didukung; ada juga buruknya, dan keburukan itu perlu dikritik dan diperbaiki. Mereka yang menganggap Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan thogut juga menolak demokrasi, menolak pemilu. Namun, tidak semua yang anti Jokowi itu adalah kelompok yang menganggap pemerintahan Jokowi itu thogut. Ada di antara mereka yang sakit hati karena tidak diajak Jokowi dalam pemerintahannya. Ada juga kelompok lain yang tidak setuju dengan program-program pemerintahan Jokowi, namun masih menerima sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara. Kelompok inilah yang masih bisa diajak untuk menjaga keutuhan NKRI. Kelompok pro Jokowi perlu mengundang mereka untuk diskusi tentang program pembangunan yang mereka inginkan, dan kalau bisa mengakomodasikan aspirasinya. Cara berdialog dan berdiskusi adalah cara yang terbaik untuk meminimalisir perpecahan di Indonesia. Bagi yang menganggap pemerintahan Jokowi itu pemerintahan thogut, diperlukan waktu yang lama untuk berdialog, untuk saling memahami, untuk menghindarkan diri dari konflik bersenjata. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk berdialog, khususnya tentang pemerintahan, tentang khilafah dan sejarahnya, dan tentang pendapat para ulama pada tahun-tahun kemerdekaan Indonesia, yang menerima NKRI dan demokrasi. Jika dialog dan diskusi tidak berhasil, pakailah saluran hukum. Hindari penggunaan kekerasan dan senjata untuk memaksakan kebenaran yang kita yakini agar diyakini oleh masyarakat lainnya. Penggunaan kekerasan dan senjata itu sangat berbahaya bagi manusia di nusantara. Ingat, begitu ada luka dan korban dari konflik dalam masyarakat di kepulauan nusantara, apakah itu karena alasan isu agama, politik, atau suku, akan sulit sekali disembuhkan dan bisa menjadi awal perpecahan NKRI. Begitu NKRI pecah, nusantara bisa berlumuran darah. Oleh karena itu mari kita berikhtiar sekuat tenaga, pikiran dan perasaan kita, agar NKRI tetap utuh, rukun dan damai.*** Muhammad Ridlo Eisy adalah Pemimpin Redaksi inharmonia.co