Mampukah Muhammadiyah Menguasai Cakrawala ? Pilihan

Jumat, 18 Juli 2025 21:23
(8 pemilihan)

Pengantar:

Pada waktu Presiden Prabowo menghadiri Hari Revolusi Perancis, 14 Juli 2025, Kin Sanubary, mengirimi Harian Pikiran Rakyat yang terbit pada tanggal 1 Desember 1985. Koran PR 40 tahun yang lalu. Kin Sanubary yang tinggal di Subang, Jabar, adalah kolektor media cetak lawas, penerima Anugrah Pangajen Rumawat Kalawarta, penghargaan dari PWI Jawa Barat 2023 bidang pelestari media massa nasional,

Pada halaman pertama PR itu ada tulisan saya, yaitu tentang Muhammadiyah menjelang muktamar 1985 dan wawancara  tentang pengungsi. Untuk mengingat kiprah Muhammadiyah silakan simak tulisan di bawah ini, sedangkan yang ingin menyimak beberapa model pengungsi silakan klik link ini, https://inharmonia.id/index.php/wawancara/wawancara/wawancara-khusus-pengungsi-mencari-nasib-lebih-baik .

Redaksi

 

Banyak masalah yang amat mendasar yang harus terjawab dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta, 7-11 Desember yad (1985-red). Kalau tidak bisa terjawab secara tuntas dan rinci, paling tidak dalam garis-garis besar arahan untuk menjawab masalah Muhammadiyah saat ini dan saat mendatang, maka Muhammadiyah bagaikan "kapal besar yang terombang - ambing di samudera luas."

Paling tidak terdapat empat masalah mendasar yang kini berada dalam pundak Muhammadiyah. Pertama, apakah Muhammadiyah mampu mempertahankan diri sebagai organisasi pembaharu Islam? Kedua, apakah Muhammadiyah mampu membangunkan kelas menengahnya yang kini hancur?

Ketiga, apakah Muhammadiyah mampu bersaing dengan organisasi sosial lain dalam masalah sosial kemasyarakatan? Keempat, bagaimana kecenderungan Muhammadiyah dalam bidang politik praktis?

Pembaharu Islam

Untuk  mengungkapkan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu Islam, patut kiranya disimak tentang "Kepribadian Muhammadiyah".

"Muhammadiyah adalah suatu perserikatan yang merupakan "Gerakan Islam". Maksud geraknya ialah dakwah Islam dan "amar makruf nahi munkar" yang ditujukan kepada dua bidang, perorangan dan masyarakat.

Dakwah “amar makruf nahi munkar", pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang aslimurni, dan yang kedua kepada yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk Islam.

Adapun dakwah dan "amar makruf nahi munkar" kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan dan bimbingan, serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata - mata.

Dengan melaksanakan dakwah dan amar makruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya ialah terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya." (Almanak Muhammadiyah, 1974-1975).

Dalam masalah pembaharuan Islam, harus diakui Muhammadiyah berhasil menggoncangkan masyarakat Islam tradisional. Bahkan boleh dikatakan secara langsung atau tidak langsung gerakan pembaharuan yang dilancarkan Muhammadiyah, justru melahirkan gerakan Islam tradisional "Nahdlatul Ulama", yang kemudian mengimbangi gerakan Muhammadiyah di sisi lain.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Muhammadiyah mampu mengguncang Islam tradisional, sehingga mereka perlu bergabung dalam organisasi yang besarnya setaraf dengan Muhammadiyah. 

Jawabannya adalah, pada waktu itu dalam tubuh Muhammadiyah banyak ulama yang ilmu agamanya hebat, seimbang, dan menandingi kehebatan ilmu agama yang dimiliki oleh ulama tradisional. Mereka melancarkan gerakan kembali ke Quran dan Hadits, dan bersamaan dengan itu mereka melakukan injeksi profesionalisasi dalam tubuh anggota maupun organisasinya.

Tampaknya terjadi ketidak seimbangan dalam tubuh Muhammadiyah. Gerakan profesi lebih mendapat tekanan untuk menjawab tantangan jaman dan melancarkan dakwah bilhal, namun kaderisasi ulamanya mulai mengendur.

Boleh dikatakan mengendurnya kaderisasi Muhammadiyah sangat dirasakan pada usia ke-73 ini, karena tampak sekali baik dalam segi kualitas maupun kuantitas ulama Muhammadiyah mengalami kemerosotan. Dalam keadaan seperti ini, keadaan anggota Muhammadiyah menjadi terbalik.

Kalau dahulu, mereka melancarkan gerakan agar anggota Muhammadiyah untuk meninggalkan taqlid, maka kini mereka mau tak mau adalah orang-orang yang taqlid. Dari beberapa ungkapan para tokoh Muhammadiyah sendiri didapatkan keterangan, bahwa tidak sedikit anggota Muhammadiyah yang beribadah tanpa mengetahui dalil-dalil naqli yang mendasarinya.

Dalam keadaan seperti ini, sulit sekali Muhammadiyah tetap mampertahankan eksistensinya sebagai pembaharu Islam. Kalaupun itu tetap dinyatakan, maka diterima oleh orang lain sebagai slogan belaka, tanpa makna.

Keadaan ini menjadi keprihatinan para pinisepuh Muhammadiyah, walaupun mereka berusaha tetap membesarkan hati. Misalnya KH AR Fachrudin di Universitas Muhammadiyah Surakarta mengatakan, bahwa saat ini Muhammadiyah dikritik sebagai "tidak pelopor lagi", yah istilah pelopor itu hanya sekali saja. Tidak dua kali.

Sedangkan Rusjdi Hamka dalam epilog diskusi tentang Muhammadiyah yang diselenggarakan Forum Komunikasi Panji Masyarakat tgl 27 Oktober yl (1985-red) mengatakan, Timbullah kesepakatan betapa perlunya Muhammadiyah dipimpin oleh para ulama. (Panji Masyarakat, 485).

Keadaan dalam tubuh Muhammadiyah seperti ini, tentu saja tidak hanya memprihatinkan bagi orang yang berada dalam Muhammadiyah, namun juga umat Islam di luar Muhammadiyah.

Mereka turut prihatin karena tantangan kehidupan modern dalam pelaksanaan praktek beragama semakin berat, dan memerlukan perumusan baru dan reinterprestasi terhadap Quran dan Hadits, sehingga praktek beragama tetap relevan dengan kehidupan saat ini.

Hancurnya Kelompok Menengah

Keprihatinan dalam tubuh Muhammadiyah bukan sekedar dalam kaderisasi ulama, tetapi juga dengan hancurnya kelas menengah Muhammadiyah dalam bidang ekonomi. Drs. Lukman Harun, juru bicara Pengurus Pusat Muhammadiyah mengungkapkan hal itu secara blak-blakan dalam wawancaranya yang telah dimuat dalam koran ini beberapa waktu yang lalu.

Cara untuk membangkitkan kelas menengah Muhammadiyah ini perlu mendapat rumusan yang lebih rinci. Jika jawaban yang dihasilkan Muhammadiyah tepat, maka yang mendapat hikmahnya bukan hanya kelas menengah Muhammadiyah sendiri.

Tetapi seluruh kelas menengah yang sudah hancur di Indonesia ini, atau bahkan kalau bisa untuk merangsang tumbuh dan meluasnya kelas menengah di  Indonesia. Kita tidak mengetahui apa hasil Muktamar Muhammadiyah untuk membangkitkan kekuatan ekonomi umat Islam.

Apakah mereka tetap menerima keadaan struktur ekonomi yang sedang berjalan saat ini, namun mereka menggerakkan semacam koperasi dengan jalan menghimpun modal dari anggotanya yang berjuta jumlahnya dan kemudian bertarung dengan para pemilik modal raksasa yang ada.

Jika cara ini yang diambil, maka yang terjadi adalah pertarungan antar modal, yang satu modal yang berhasil dihimpun oleh Muhammadiyah melawan modal raksasa yang lain. Dan pertarungan antarmodal itu tetap berdasarkan irama struktur ekonomi yang ada, yang sesungguhnya non kooperatif.

Ada kemungkinan lain, mungkin saja Muktamar Muhammadiyah di Surakarta nanti, mengambil putusan untuk melakukan koreksi terhadap struktur ekonomi yang ada sampai ke akar-akarnya dan menawarkan struktur ekonomi yang lebih adil, dan menghindarkan pertarungan antarmodal.

Kalau konsep untuk membangkitkan kelas menengah dalam Muhammadiyah tidak berhasil dirumuskan dalam muktamar, maka kehidupan Muhammadiyah masa mendatang kemandiriannya benar-benar diragukan, dan pada akhirnya selalu mengharapkan subsidi dari pemerintah.

Kalaupun muktamar nanti, berhasil melahirkan konsep yang cemerlang dalam bidang ekonomi, maka untuk melaksanakan konsep itu dapat dipastikan akan mendapat tantangan yang keras sekali.

Organisasi Sosial Semata

Dalam pada itu, siapapun mengakui, bahwa Muhammadiyah adalah organisasi sosial yang besar. Di mana-mana terdapat  Sekolah Muhammadiyah, Panti Asuhan Muhammadiyah, Rumah Sakit Muhammadiyah, bahkan sekarang Universitas Muhammadiyah.

Tampaknya organisasi-organisasi sosial yang berinduk dalam Muhammadiyah terus berjalan, walaupun kadang-kadang tanpa tuntunan organisasi secara berarti dari pusat. Mereka bisa bergerak sendiri, karena gerakan sosial dalam Muhammadiyah telah mentradisi.

Jika kita melihat kenyataan yang ada, maka lembaga sosial Muhammadiyah ini berkumpul semuanya di kota-kota dan tidak ada yang berada di pedesaan. Boleh dikatakan, Muhammadiyah tidak akan mampu terlalu dalam menjangkau pedesaan, karena di pedesaan sudah berdiri lembaga-lembaga sosial yang didirikan pemerintah, misalnya SD-SD Inpres dan Puskesmas.

Bersaing dengan pemerintah jelas tidak perlu, karena yang terbaik adalah melakukan kegiatan komplementer, saling mengisi kekurangan untuk kepentingan masyarakat banyak. Sedangkan di perkotaan Muhammadiyah juga mendapat tantangan dari lembaga pеmerintah dan lembaga yang didirikan oleh Katolik dan Kristen.

Dalam masalah kesehatan Muhammadiyah ditantang oleh rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit mewah milik Katolik. Demikian pula dalam pendidikan. Mungkin dalam masalah kesehatan, bisa terjadi saling isi mengisi antara rumah sakit Muhammadiyah, rumah sakit pemerintah, maupun rumah sakit Katolik, karena standar harga perawatannya berbeda-beda, dan kemampuan masyarakat berbeda pula.

Tetapi dalam hal pendidikan, jelas tidak ada unsur komplementer, dan harus bersaing secara murni. Kalau mutu sekolah Muhammadiyah lebih rendah dari mutu sekolah yang lain, maka mau tidak mau akan ada cap sekolah "kelas dua". Dahulu sekolah Muhammadiyah mempunyai mutu yang tidak kalah dengan sekolah yang manapun, entah sekarang ini.

Kalaupun sekarang ini mutunya kalah dengan sekolah yang lain, maka kita yakin mereka masih terus berpacu dengan semangat tinggi untuk mengejar ketinggalan, sesuai dengan ayat Quran, "Fastabikul Khoirot", berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Muhammadiyah & Politik

Tentang kaitan Muhammadiyah dengan politik, mungkin ada baiknya kita menyimak dokumentasi Keputusan Sidang Tanwir di Ponorogo tahun 1969, tentang "Khittoh Perjoangan Muhammadiyah".

Disebutkan dalam dokumen itu bahwa dakwah Islam dan "amar makruf nahi munkar" dilakukan melalui dua saluran secara simultan, yaitu saluran politik kenegaraan (politik praktis) dan saluran masyarakat.

Untuk saluran bidang politik kenegaraan (politik praktis) dengan organisasi politik (partai). Untuk itu Muhammadiyah membentuk satu partai politik di luar organisasi Muhammadiyah.

"Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah merupakan obyeknya dan wajib membinanya. Antara Muhammadiyah dan Partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis. Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri menurut caranya sendiri tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuannya yang satu," demikian Khittoh Perjoangan Muhammadiyah.

Tentang masalah-masalah idiil disebutkan, "Dengan dakwah dan amar makruf nahi munkar dalam arti dan proporsi sebenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan UUD 45 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT".

Sedangkan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah menurut Rapat Pleno Muhammadiyah tgl. 12-14 Februari 1971 di Jakarta disebutkan, "Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban muthlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah."

Namun dalam perjalanan kehidupan politik praktis, tokoh Muhammadiyah hanya sempat sangat menonjol dalam jaman Demokrasi Liberal. Dalam masa Orde Baru, masih belum jelas apakah orang Muhammadiyah meninggalkan Muslimin Indonesia, atau Muhammadiyah ditinggalkannya.

Namun sangat  jelas dengan adanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, dapat diperkirakan warga Muhammadiyah sekarang ini mencoba mencari saluran agar aspirasi Muhammadiyah bisa diperjuangkan semaksimal mungkin. Yang jelas netralitas Muhammadiyah dalam politik praktis, sudah lebih dahulu dibandingkan NU.

Memang sejak saat ini organisasi semacam Muhammadiyah dan NU sedang "dilamar" oleh organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang ikut dalam Pemilu, siapa yang berhasil meyakinkan bahwa aspirasinya bisa diperjuangkan, maka ia akan mendapatkan dukungan suara. (Muhammad Ridlo 'Eisy).

Baca 280 kali
Bagikan: