Pengantar, Mengapa terjadi pengungsian di dunia ini? Mengapa orang terpaksa pindah dari tempat kelahirannya dan keluar menuju ke negara yang lain? Masalah pengungsi merupakan masalah yang terjadi kalau terdapat krisis politik antarnegara, bertetangga. Untuk mengetahui lebih jelas latar belakang pengungsi, "PR" menampilkan pendapat Dr. Lie Tek Tjeng, peneliti ahli dari LIPI. Wawancara dilakukan wartawan Muhammad Ridlo 'Eisy. Semoga bermanfaat. Redaksi. Catatan: Masih ingat tagar “Kabur Aja Dulu”? Ada sebagian warga negara Indonesia tidak kerasan tinggal di Indonesia, dan mau mengungsi ke luar negeri, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pada waktu Presiden Prabowo ikut memeriahkan hari revolusi Prancis, tgl 14 Juli 2025, di Prancis, Kins Sanubary mengirimkan wawancara yang saya lakukan 40 tahun yang lalu. Kin Sanubary adalah kolektor media cetak lawas, dan pernah menerima Anugrah Pengajen Rumawat Kalawarta yang diberikan oleh PWI Jawa Barat 2023. Wawancara itu disiarkan oleh Harian Pikiran Rakyat Bandung, Minggu, 1 Desember 1985 tentang pengungsi. Selamat membaca. (Muhammad Ridlo Eisy, Pemimpin Redaksi inharmonia.id, Dosen FISIP Unpas Bandung).*** Tanya (T): Apa latar belakang yang mendorong orang mengungsi? Bisakah Bapak menjelaskannya. Jawab (J): Orang mengungsi dari negaranya kalau mereka merasa diperlakukan secara diskriminatif, sehingga tidak bisa mengembangkan bakat padahal mereka mempunyai kemampuan. Pengungsi adalah orang yang tidak bisa berbuat sesuatu di negaranya sendiri, merasa ditekan, dikejar. Alasan diskriminasi bisa berdasarkan agama mereka, misalnya yang pernah terjadi di Eropa abad pertengahan, banyak orang mengungsi karena agamanya. Yang berkuasa waktu itu adalah Agama Katolik, maka orang Protestan mengungsi, karena mereka diburu dan disiksa. Jadi orang mengungsi karena mereka dianggap lain dari mayoritas yang ada, diperlakukan tidak sama, diuber-uber, disiksa. Daripada mendapatkan perlakuan seperti itu mereka lebih baik mencari tempat lain yang lebih aman. Ada juga faktor penyebab yang lain, yaitu faktor materiel, karena di negaranya sendiri mereka tidak bisa hidup karena ekonominya tertekan. Namun mereka tidak disebut pengungsi, tetapi imigran. Orang Eropa karena berbagai alasan mencari tanah yang baru dan kemudian menemukan Benua Amerika, walaupun ada dorongan faktor agama yang berbeda. Orang Tiongkok juga seperti Itu. Kalau mereka pergi ke kutub utara jelas tidak menarik, karena di sana hanya ada padang es. Tapi mungkin pada abad ke 21 atau selanjutnya daerah itu bisa menarik karena kemajuan teknologi, dan di Siberia juga banyak sumber mineral yang penting bagi dunia modern. Hal ini jelas menjadi pertimbangan Uni Soviet, karena Siberia penduduknya sedikit. Masalah ini yang sedang dihadapi oleh Uni Soviet dan RRC, sebab penduduk Rusia tidak mau ke sana. Mereka tidak tertarik ke Siberia karena kadang dalam beberapa tahun tidak ada matahari. Mau apa ke sana, kalau bisa hidup lebih enak di Rusia. Karena sebelah utara adalah padang es, maka orang Tiongkok mencari pilihan lain, kalau ke Timur ada Jepang yang sudah penuh sesak dan Samudra Pasifik, di Barat ada Himalaya, kalaupun itu bisa diterobos, maka mereka bertemu dengan India yang tidak kalah padatnya. Jadi logis kalau mereka pergi ke selatan, karena daerah selatan subur dan baik, tanah masih ada. Pengungsi kan pada hakekatnya mencari perbaikan nasib, dan mereka tidak mau pergi ke tempat yang lebih miskin, kecuali kalau ada perasaan misi suci untuk penduduk setempat. Misalnya orang AS Eropa yang datang ke negara tropis, dan negara sedang berkembang, ada dua kemungkinan. Pertama mereka mencari duit untuk cepat kaya, menghisap segala yang bisa, atau ada semacam idealisme yaitu ingin membantu negara yang lebih rendah tingkat hidupnya. Seringkali kombinasi di antara keduanya mereka datang. Kalau pengungsi sudah pasti motivasinya, lihat saja orang Vietnam, karena di antara mereka ada yang dianggap kerjasama dengan pemerintah AS dan dicap kolaborator, maka bagi mereka tidak ada nasib yang cerah lagi, oleh karena itu lebih baik mencari tempat lain. Orang Indonesia yang dahulu bekerja sama dengan NICA kan nasibnya juga seperti itu, banyak kolaborator pergi ke Belanda. Tidak kurang 30.000 orang RMS ke Belanda dan banyak menimbulkan masalah. T: Barangkali contoh Vietnam itu bagus sekali. Apakah pengungsian yang terjadi itu bukan kesengajaan pemerintah setempat untuk mengusir mereka, dan yang diusir itu kan orang Cina? J: Ya, ada juga. Seperti juga yang terjadi di negeri kita tahun 1960, dibuatnya PP 10 Itu kan untuk mengusir orang Cina. Waktu G30S/PKI, orang Cina kan mau diusir semua. "Manusia Perahu" (Boat People) dari Vietnam, itu hanya pengungkapan dari yang kita contohkan saja. Kita kan tidak mau bilang, "Kejam orang Vietnam Itu", karena keadaannya sama. T: Tapi pada tahun 1966 kan tidak ada "Manusia Perahu" dari Indonesia? J: Belum sampai terjadi seperti itu, tetapi "Manusia Perahu" itu merupakan peningkatan dari yang pernah kita lakukan, hanya bedanya Vietnam lebih keras. Pemerintah komunis kan lebih kejam, dan di sini ada Pancasila. Jadi waktu itu ada dua kemungkinan : Kita usir semua orang Cina, tetapi kita tidak mempunyai kapal yang cukup dan RRC tidak mau mengirim kapal, atau kita bunuh semua? Tapi apa itu tidak bertentangan dengan Pancasila? Kalau tidak ada jalan lain, maka lebih baik kita manfaatkan, tentu saja dengan seleksi. Siapa yang tidak baik kita kembalikan, tetapi yang baik kita jadikan warga negara. Akhirnya itulah kebijaksanaan yang diambil, walaupun begitu masih banyak yang benci dan mengatakan "Buat apa dikasih kewarganegaraan, orang Cina sialan!" Hal itu sekarang menjadi permainan politik, karena kita tidak mungkin membunuhnya karena ada Pancasila, dan kita juga tidak bisa mengusir mereka semua, karena tidak adanya alat dan RRC juga tidak mau menerima terlalu banyak, akhirnya mereka tetap di sini. Karena kita sedang melakukan pembangunan dan mereka berguna dalam ekonomi, maka mereka dimanfaatkan. T: Mengapa Vietnam lebih keras? J: Karena waktu itu tekanan RRC di perbatasan sangat terasa. Mereka lebih efisien, kebijaksanaannya lebih kejam, dengan sendirinya mereka lari. Kita kan tidak begitu. Tetapi hal itu bukan karena sifat bangsa ini lebih kejam daripada bangsa itu, namun keadaan yang membuat kekejaman itu. Karena mereka punya aparat yang efisien, maka kalau sekali ada perintah usir, ya diusir semua. Tetapi di samping pengungsi Jenis itu, ada juga pengungsi yang lahir karena jiwa petualang, misalnya orang Minang yang sering merantau. Mereka tidak senang di rumah saja, walaupun di rumah mereka sudah cukup. Itu tidak akan menimbulkan pengungsian secara massal. Mengalirnya orang Eropa Barat ke Amerika juga sebagian atas dasar itu. Dalam kasus seperti itu kita jangan terjebak kepada istilah pribumi. Apa bedanya orang Melayu dengan orang Cina? Orang Melayu datang ke Nusantara lebih dahulu 2000 tahun dibandingkan orang Cina sekarang, keduanya berasal dari ras yang sama yaitu Mongoloid. Yang disebut penduduk asli atau pribumi adalah orang Kubu di Jambl. Mereka betul pribumi, sebelum gelombang orang Melayu datang. Kalau kita teriak pribumi, maka orang Amerika dan Australia merasa gelisah. Di Australia itu Aborigin adalah pribuminya, mereka sudah menjadi minoritas dan harus dilindungi. Seperti satwa langka, kalau tidak dilindungi akan mati. Itu perjalanan sejarah manusia, "Survival of The Fittest". Kalau tidak cukup kuat dan tidak punya daya tahan, maka akan dimakan yang lebih kuat. Kita lihat Eropa Barat yang begitu kecil, namun Benua Amerika Utara dan Selatan dikuasai, Australia bahkan Selandia Baru. T: Apakah pelintas batas itu eufimisme dari kata pengungsi? J: Biasanya kita membuat eufimisme karena kita merasa berbuat salah. Sedangkan sesungguhnya dosa itu tetap sama, siapa pun yang melakukan. Kalau orang AS bilang salah misalnya, bisa membuat kita marah. Orang Jawa atau Jepang yang menganut budaya yang tidak langsung itu merasa kata salah itu terlalu kasar. Tapi seringkali dalam proses penghalusan bisa mengaburkan makna. Dalam hal pelintas batas di Irja, secara umum saya tidak mau berkomentar, hanya ekonomi di Irian Jaya lebih jelek bila dibandingkan dengan PNG, dan patut diperhatikan kesadaran nasionalnya belum kuat, sedangkan rasa suku bangsanya sangat kuat, ada satu suku bangsa yang berada di Irian Jaya maupun di PNG.***