Ada hal yang menarik, dari kesenjangan wacana publik, dengan praktek kongkret di lapangan dalam dinamika Pilkada 2024. Banyak tokoh dan pembesar politik yang menyatakan Pilpres sudah selesai, dan partai partai, termasuk di jajaran provinsi maupun kabupaten/kota tak terikat lagi dengan Koalisi 01, 02, maupun 03. Apa yang terjadi di lapangan ternyata berbeda. Pertengahan Maret 2024, saya mewawancarai mantan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Tegas ia menyatakan tak tertarik jabatan lain, dan ingin kembali jadi gubernur. Bahkan untuk wakil, ia juga mantap akan mengajak lagi Emil Dardak. Jauh-jauh sebelum Pilpres, para petinggi Koalisi Indonesia Maju (KIM) dari Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN sudah menyatakan akan mendukung Khofifah menjadi Gubernur Jatim lagi. Balasannya, Khofifah dan Emil juga habis habisan mendukung Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden. Koalisi Pilpres ternyata semakin menguat dalam dinamika persiapan Pilkada 2024, setidaknya di Jawa Timur. KIM segera menindaklanjuti Deklarasi Khofifah dengan pengukuhan rekomendasi yang diserahkan secara langsung oleh ketua umum masing-masing. Begitu solidnya Koalisi Pilpres 02 di Jatim, tawaran koalisi PDIP yang akan menempatkan wakil gubernur, tak bisa diterima, karena sudah ada Emil Dardak, pendukung fanatik Prabowo-Gibran. Kehadiran wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, dan ketua umum PSI Kaesang Pangarep menemui Khofifah, juga bisa dimaknai sebagai restu dan dukungan Presiden Joko Widodo. Kompetisi dua Kubu Makin mengerucutnya dua kubu dalam Pilkada 2024, antara Koalisi Pemenang Pilpres Plus, dan Koalisi PDIP Plus, sebut saja begitu, juga terjadi di beberapa provinsi strategis. Di Jawa Tengah, bahkan belum jelas siapa yang akan dijagokan PDIP, antara mantan Walikota Semarang Hendrar Prihadi, atau Ketua DPD PDIP Bambang Wuryanto yang dikenal sebagai Bambang Pacul. Selain kemungkinan membaca lawan siapa yang akan dihadapi, juga menunggu siapa kawan yang akan bergabung. Tidak sesederhana peta politik Pilkada di Jawa Timur. KIM belum terkonsolidasi, antara Sudaryono Ketua DPD Partai Gerindra, atau Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Lutfhi. Sudaryono sering menyatakan mendapat tugas langsung dari Prabowo Subiyanto, sudah mendeklarasikan secara terbuka pencalonannya. Baik melalui media, termasuk baliho, dan dalam pertemuan terbuka di banyak tempat. Tanda tanda mengerucut ke Lutfhi juga mulai tampak, setelah PAN terang terangan mendukung, dan anggota KIM yang lain tidak ada tanda tanda menolak. Sisanya tinggal mencarikan pos lain untuk Sudaryono, yang pasti mudah untuk pemenang Pilpres. Memang masih ada PKB yang dukungan kursinya di DPRD Jawa Tengah cukup signifikan. Namun potensi untuk merapat menjadi ke KIM, sangat terbuka. Peta ini mengarah pada terbentuknya koalisi besar KIM Plus, dengan menjagokan Ahmad Lutfhi. PKS Jawa Tengah sudah mulai memberi sinyal akan mendukung. Bahkan jika benar spekulasinya, yaitu calon wakil gubernur yang dipilih adalah mantan Wagub Jateng Tat Yasin, otomatis PPP pasti akan bergabung. Head to Head Peta Jawa Tengah cenderung mengarah ke "head to head" dalam Pilgub November mendatang. Ahmad Lutfhi didukung KIM Plus akan menghadapi calon dari PDIP atau PDIP Plus. Di Jakarta, fenomena dua kubu sisa koalisi Pilpres juga terjadi. Bahkan tanda tanda semakin nyata ketika PKB, PKS, dan PDIP menginisiasi untuk mencalonkan mantan gubernur DKI, Anies Baswedan. Ketika ada tanda tanda Koalisi 01 dan 03 menguat di Jakarta, Koalisi 02 juga makin terkonsolidasi. Bergabungnya PDIP, pada koalisi yang akan mencalonkan Anies mengindikasikan mengerasnya Koalisi Pilpres 01-03, untuk menghadapi Koalisi Besar 02. Padahal selama ini Anies dianggap lawan permanen PDIP di provinsi Jakarta. Suasana "head to head" ini menyebabkan Partai Golkar mempertimbangkan Ridwan Kamil, walaupun yang bersangkutan juga diharapkan jadi andalan calon gubernur di Jabar. Sebenarnya sejak lama Golkar juga sudah menyiapkan ketua DPD DKI, Ahmed Zaki Iskandar. Tanda-tanda persiapan "head to head" dua kubu besar ini terlihat ketika Ridwan Kamil yang saat ini wakil ketua umum Partai Golkar, juga diusulkan oleh Partai Gerindra . Kecenderungan fenomena "head to head" juga terasa di Sumatera Utara. Munculnya nama Bobby Nasution, walikota Medan, menantu presidan Jokowi sebagai calon gubernur menjadi indikasi kuat. Golkar menjadi kerepotan untuk bertahan membela kadernya sendiri Musa Rajeksah yang merupakan wakil gubernur petahana dan sejak lama mempersiapkan diri untuk menjadi calon gubernur. Edy Rahmayadi gubernur petahana tidak bisa lagi diusung KIM. Setidaknya Gerindra dan Golkar, mencari tambatan baru di PDIP yang periode sebelumnya menjadi lawan beratnya. Bahkan PDIP sampai disebut perlu mengirim Basuki Tjahaja Purnama alias Ahol untuk bertempur di medan keras Sumut. Lebih Prestisius Jangan-jangan menang dalam kontestasi Pilkada lebih prestisius dibanding dengan keberhasilan memenangi Pilpres 2024. Bagi Prabowo dan Jokowi yang sudah berhasil memenangkan Pilpres, mengapa merasa perlu untuk mengusahakan kemenangan di mayoritas Pilkada ? Bagi Prabowo, pemerintahannya akan lebih efektif, efisien, dan produktif jika terjadi linierisasi pemerintahan mulai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Berbagai kebijakan yang tidak segaris, karena kepentingan politik berbeda di setiap tingkatan pemerintahan, menyebabkan aplikasinya menjadi sulit, lambat, dan mahal. Bagi Jokowi, momentum Pilkada akan menjadi pembuktian tingkat kepuasan yang menurut beberapa lembaga survei masih tinggi, sampai masa akhir jabatannya, yaitu sekitar 80 persen. Apakah pengaruhnya masih akan menjadi faktor dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemenang Pilkada, seperti saat berlangsungnya Pilpres. Inilah yang sekaligus akan menjadi legacy-nya setelah pensiun sebagai presiden, dan menjadi modal untuk menentukan langkah berikutnya. Kritik keras yang masih terus dilancarkan oleh PDIP, terutama melalui ketua umum Megawati dan Sekjen Hasto Kristiyanto, semakin memperkuat kesan bahwa Pilkada 2024 akan menjadi medan pembuktian, siapa yang sejatinya jawara dalam perpolitikan Indonesia. Membayangkan Pilkada 2024 akan menjadi perhelatan politik yang lebih cair, lebih simpel, dan riang gembira, agaknya tidak akan menjadi kenyataan. Partai-partai akan berhitung untung-rugi tidak sekedar menang-kalah dalam Pilkada, tetapi juga dalam peran serta di pemerintah pusat lima tahun mendatang. Politik barter dalam Pilkada yang menentukan calon, juga akan dipengaruhi koaliasi pemerintahan baru selain KIM atau Koalisi Pilpres 02. Ada kemungkinan, iklim Pilkada 2024, akan bisa menghangat melebihi suasana Pilpres. Jangan heran kalau mungkin akan banyak tangan yang kelihatan atau tersembunyi ikut "cawe-cawe". Penulis, host Kanal Inspirasi untuk Bangsa. Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 1 Juli 2024, disiarkan di inharmonia.co atas izin penulis.