Boikot Media Sosial dan Keseimbangan Baru

Rabu, 19 Agustus 2020 15:48
(8 pemilihan)

Konten buatan pengguna (user generated content) merupakan ke unggulan komparatif media sosial.

Dengan konten buatan pengguna, siapa saja bisa menghasilkan konten. Bebas berpendapat, dan jadi subyek yang berbicara. Di ruang media sosial (medsos), tak ada lagi gradasi ketat antara ko­munikator dan komunikan, pa­kar dan orang awam, kaum elite dan massa. Namun pada akhir­nya, keunggulan komparatif itu ternyata juga jadi titik lemah yang sulit ditanggulangi.

Tanpa moderasi dan penyuntingan semestinya, konten bu­atan pengguna itu jadi bume­rang. Semua pihak, baik jahat maupun baik, bebas menyebar­kan konten di medsos. Semua jenis konten, termasuk yang mengandung muatan ujaran kebencian, semangat rasialis, kecenderungan melanggar hu­kum, pornografi, dan paedofilia, mendapat tempat di sana.

Platform medsos sudah be­kerja keras menanganinya. Na­mun yang mereka lakukan bu­kanlah proses moderasi dan pe­nyuntingan "sebelum tayang", melainkan "menghapus setelah tayang” atau menempelkan label “konten berbahaya" setelah tayang. Cuitan Trump yang ra­sial baru diblokir atau dilabeli ’’tidak layak” setelah sempat tersebar di jagat medsos. Aki­batnya, ruang medsos menjadi keruh oleh sikap acuh-tak acuh, ujaran kebencian, dan pesan ra­sial.

Meskipun sudah melakukan banyak perbaikan, platform medsos tetap disalahkan. Me­reka dianggap mengambil "ke­sempatan dalam kesempitan", meraup keuntungan bisnis dari epidemi hoaks yang memecah belah masyarakat. Dalam kon­teks inilah kampanye bertajuk "Stop Hate for Profit" meluncur di AS pada 17 Juni 2020. Di­gerakkan organisasi seperti Co­lor of Change, NAACP, ADL, Sleeping Giants, Free Press, dan Common Sense Media, “Stop Hate for Profit" mendesak para produsen besar berhenti ber­iklan di medsos, seperti Facebook Twitter, Instagram dan Youtube, karena alasan di atas.

Gayung bersambut, brand besar, seperti Unilever, Starbuck, The North Face, REI, Patagonia, Ben and Jerry's, Upwork, Eddie Bauer, Arc’teryx, Magnolia Pictures dan Honda Motor Co, telah me­nyatakan berhenti beriklan di platform medsos. Hingga 3 Juli 2020, dukungan atas "Stop Hate for Profit" telah menembus angka 400 per­usahaan besar.

Seperti "Tom and Jerry”

Akan seberapa jauh kam­panye "Stop Hate for Profit" bergulir? Satu hal yang pasti, perusahaan platform medsos tak berdiam diri. Mereka me­miliki teknologi, kemampuan finansial, dan SDM untuk terus memperbaiki diri. Mereka ter­biasa menghadapi kontroversi, sangat lihai membalikkan opini publik dan keluar dari situasi krisis dengan kerugian mini­mal. Jadi, tak realistis berpikir kampanye "Stop Hate for Profit" akan serta-merta merun­tuhkan dominasi mereka.

Namun satu hal yang juga cukup pasti, gangguan terhadap kemapanan platform medsos akan terus terjadi. Para pelaku kejahatan digital akan terus berupaya menembus "sistem pertahanan" mereka. Para Programmer komputer zombie, pe­ternak botnet, dan pasukan troll akan terus bergerilya menja­lankan misi-misinya. Para po­litisi juga akan terus mengguna­kan medsos sebagai arena pro­paganda komputasional berlan­daskan hoaks dan ujaran ke­bencian. Kejahatan digital dan upaya perusahaan platform un­tuk menanganinya ibarat kisah Tom and Jerry. Akan terus ber­benturan dan saling mendahu­lui sepanjang waktu.

Kisah Tom and Jerry juga terlihat pada fenomena digital ad misplacement. Sejak 2014, iklan Johnson & Johnson, Starbuck, PepsiCo, Toyota, General Motors, Hyundai, Walmart Sto­res dan lain-lain beberapa kali menempel di video Youtube de­ngan konten pornografi, rasial­isme, antisemitis, puedofilia, bahkan konten eksekusi jang­gal kepala oleh serdadu ISIS

 

Algoritma Youtube dengan sangat pintar mengenali penonton video itu adalah para pem­beli potensial untuk produk da­ri perusahaan di atas. Bahwa sebagian penonton video ek­sekusi penggal kepala oleh ISIS adalah ibu-ibu yang berpotensi membeli bedak bayi Johnson & Johnson. Bahwa penonton vi­deo antisemitisme adalah pen­duduk Asia yang gemar mobil Toyota. Bahwa penonton video porno adalah penggemar pro­duk otomotif.

Analisis megadata (big data) memungkinkan identifikasi ini secara cepat. Pertanyaannya, mana ada pengiklan yang mau iklannya menempel di video-vi­deo berkonten kekerasan, keasusilaan, pornografi, atau ra­sialisme? Mereka menarik iklan di Youtube meski hanya se­mentara. Youtube terus mem­perbaiki sistem algoritmanya, katakanlah dengan menambah­kan fitur pemblokir konten ile­gal. Namun hingga 2019, feno­mena misplacement masih ter­jadi.

Samuel C Woolley dan Philip N Howard dalam Computati­onal Propaganda. Political Parties. Politicians, and Political Manipulation on Social Media (Oxford University Press, 2019) menjelaskan fenomena ini se­bagai "ketidakmampuan plat­form digital mengendalikan mesin yang mereka ciptakan sendiri".

Kasus fenomenal lain ada­lah ketika platform medsos dimanfaatkan jaringan botnet dan pasukan troll berafiliasi ke Rusia untuk memecah be­lah masyarakat AS pada Pe­milu 2016. Medsos membe­rikan kebebasan dan egalita­rianisme bagi semua orang untuk membuat konten, tapi tak sepenuhnya bisa mengon­trol ketika kebebasan itu di­manfaatkan untuk proyek propaganda komputasional yang berdampak buruk ke masyarakat. Di depan Senat AS, perusahaan platform ber­kilah mereka tak tahu proyek propaganda komputasional itu memanfaatkan platform yang mereka operasikan.

Pertanyaannya, jika peru­sahaan platform saja tak tahu bagaimana mengendalikan platform medsosnya. lalu siapa yang akan melindungi kepen­tingan publik dan pengiklan da­ri dampak buruk penyalahgu­naan platform itu?

Keseimbangan baru

Kampanye "Stop Hate for Profit" sekali lagi bukan akhir dari dominasi raksasa medsos global. Namun, paling tidak te­lah semakin meluas kesadaran tentang batas-batas medsos. Medsos memang memberikan skala pembaca yang sangat be­sar, tetapi kedodoran dalam menjamin kualitas konten dan kredibilitas sumber. Medsos menawarkan kecepatan dan interaktivitas, tetapi sering gagal dalam memastikan produk yang baik berasosiasi dengan konten dan khalayak yang baik. Medsos menghadirkan demo­krasi digital, tetapi kebingungan mengendalikan mesin-mesin demokratisasi digital ketika ter­jadi penyalahgunaan.

Pada titik ini, terbuka peluang untuk membicarakan keseim­bangan baru. Kunci dari ke­seimbangan ini adalah pema­haman masyarakat dan peng­iklan tentang kelebihan dan ke­kurangan medsos sebagaimana mereka lebih dahulu mema­hami kekurangan dan kelebihan media konvensional. Ternyata medsos tak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media massa sebagai ruang publik.

Ternyata medsos menyajikan sesuatu yang berbeda. Ternyata khalayak dan pengiklan tetap butuh media yang lebih dapat memverifikasi kelayakan kon­ten dan khalayaknya. Ternyata pengiklan juga alergi hoaks, ujaran kebencian, dan kegaduh­an politis.

Fakta-fakta ini merupakan peluang bagi para pengelola media massa untuk kembali meyakinkan masyarakat dan pengiklan. Satu hal yang se­benarnya juga dilakukan per­usahaan platform dengan me­manfaatkan kelemahan-kele­mahan media konvensional. Tentu dengan syarat media massa konsisten dengan good journalism dan mampu ber­adaptasi dengan evolusi ekologi media yang sedang terjadi.

Agus Sudibyo (Anggota Dewan Pers, Dosen ATVI Jakarta)

 

Baca 803 kali Terakhir diubah pada Rabu, 19 Agustus 2020 16:16
Bagikan: